Tentang Madrasah Diniyah

Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur'an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Aktifitas belajar MD Raudlatul Ulum

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 24 Februari 2012

Foto Wisuda MD Raudlatul Ulum 2012 M





Kamis, 23 Februari 2012

Madrasah Diniyah

Dulu utamanya di desa-desa termasuk di daerah kelahiran saya, sebelum tahun 1970 terdapat lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah. Lembaga pendidikan jenis ini mungkin lebih tepat disebut sebagai pendidikan non formal. Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hati, mulai bakda ashar hingga maghrib. Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar juga melengkapinya dengan sekolah agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah. Sebagian guru-guru SD tidak menyukai para muridnya merangkap belajar di madrasah, khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari para pemuka agama.

Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh agama di desa. Biasanya memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di madrasah juga tidak dibayar apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam.

Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab, belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar agama sore hari di lembaga pendidikan tersebut. Adanya lembaga pendidikan agama seperti ini, menjadikan tidak banyak orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran agama di sekolah. Berapapun jumlah jam pelajaran agama di sekolah umum ----sekolah dasar, tidak pernah dipersoalkan, tokh para siswa sudah mengikuti pendidikan di madrasah diniyah ini.

Para tokoh agama menganggap pendidikan diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga sampai-sampai H.Mahmud Sayuthi (alm) tatkala menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama di Kabupaten Ponorogo menjalin kerjasama dengan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sekolah dasar. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk madrasah diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran agama bagi para siswa sekolah umum.

Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh agama merintis bentuk lembaga pendidikan yang dianggap lebih sempurna, yaitu berupa Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama dan Madrasah Aliyah untuk
Tingkat atas atau setara SMU. Di pedesaan sejak akhir tahun 1960 an banyak berdiri madrasah Ibtidaiyah. Para tokoh agama dengan kekuatan yang dimiliki berusaha mendirikan jenis lembaga pendidikan tersebut, sehingga di mana-mana muncul madrasah ibtidaiyah. Kebanyakan Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan difasilitasi oleh masyarakat sendiri, atau berstatus swasta. Sudah barang tentu keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut sangat sederhana, baik dari aspek ketersediaan fasilitas pendidikannya maupun juga ketenagaannya.

Munculnya lembaga pendidikan Islam yang baru ini disambut baik oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk lembaga pendidikan Islam ini dianggap ideal, karena melalui lembaga pendidikan tersebut sekaligus diajarkan ilmu agama dan ilmu umum. Memang model lembaga pendidikan seperti itu yang diinginkan oleh masyarakat, terutama kaum santri, sehingga kehadiran madrasah mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat.

Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya, maka pendidikan madrasah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi mereka yang terpenting bernama madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan dimaksud. Tidak sebagaimana madrasah diniyah yang hampir semuanya gratis, sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai operasional madrasah dengan membayar SPP.

Dengan didukung oleh semangat, keyakinan, dan rasa memiliki dari kalangan masyarakat, maka pada batas-batas tertentu kebutuhan dapat dicukupi, sehingga lembaga pendidikan tersebut dapat berjalan. Namun satu hal yang mungkin kurang mendapatkan perhatian ------oleh karena keterbatasan kemampuan financial dan lain-lain, kehadiran madrasah ibtidaiyah, mengakibatkan perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan diniyah yang telah lama hidup dan berkembang sebelumnya menjadi terbengkalai. Setelah guru-guru diniyah beralih mengajar pada pagi hari di madrasah ibtidaiyah, maka akibatnya mereka kehabisan energi, dan kemudian banyak madrasah diniyah tutup.

Padahal tidak seluruh masasyarakat selalu memilih lembaga pendidikan madrasah ibtidaiyah bagi anak-anak mereka. Masih banyak anak-anak santri yang masuk di sekolah dasar. Dengan hilangnya madrasah diniyah ini, maka para siswa SD tidak lagi bisa menambah pelajaran agama di sore hari sebagaimana yang dulu-dulu. Anak-anak Sekolah Dasar, akhirnya mencukupkan pelajaran agama yang diberikan di sekolah mereka masing-masing. Selain itu, di masyarakat kemudian terdapat dua jenis lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Dasar (SD) yang pada umumnya berstatus negeri, yang diurus dan didanai oleh pemerintah. Sedangkan lainnya adalah madrasah, yang pada umumnya berstatus swasta, dirintis, diurus dan didanai oleh masyaralkat sendiri.

Akhir-akhir ini, sekalipun status madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya bahwa kualitas madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran agama, maka jelas madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, -------guru, buku, sarana dan prasarana lainnya, dipenuhi, sedangkan madrasah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya tidak tepat dibandingkan hasilnya. Membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil.

Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola madrasah juga ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut mengatakan bahwa madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah. Akibatnya, citra madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah, tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak mengurangi semangat masyarakat mempercayai madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dianggap lebih baik dan mencukupi.

Akhir-akhir ini, madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah, rupanya belum mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan yang dialami oleh sekolah umum.

Dulu, madrasah diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal-----para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri madrasah diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah. Wallahu a’lam.

Sabtu, 18 Februari 2012

Haflah Md. Raudlutul Ulum 2012

Madrasah Diniyah Raudlatul Ulum

Sebagai pesantren yang para santrinya merupakan siswa siswi SMP dan SMU, juga mahasiswa dari berbagai PTN dan PTS yang ada di kota Malang, sistem pendidikan yang ada di Pesantren Raudlatul Ulum tentunya tidak mungkin diterapkan seperti pesantren salaf kebanyakan meski label pesantrennya tetap mengusung nama salafiyah.

Para santri di pesantren-pesantren salaf kebanyakan, menjadikan pesantren sebagai tujuan utama mereka dalam mencari ilmu. Sementara para santri di kebanyakan pesantren yang memberi fasilitas santri untuk sekolah umum, seperti di Pesantren Raudlatul Ulum ini, diakui atau tidak, dijadikan sebagai tujuan kedua setelah sekolah umum. Kemampuan mendalami segala pelajaran yang ada dipesantren bukanlah tolok ukur bagi para santri untuk menyatakan diri sudah layak keluar dari pesantren atau tidak. Mereka lebih menggunakan rampungnya sekolah umum untuk keluar dari pesantren, guna melanjutkan jenjang yang lebih tinggi di tempat lain. Dengan demikian, rata-rata usia mondok para santri sekitar 3 hingga 5 tahun, tergantung penyelesaian sekolah mereka.

Melihat kondisi seperti ini, Pesantren Nurul Huda tidak menargetkan pengajaran yang muluk-muluk sebagaimana pesantren salaf kebanyakan. Meski begitu Nurul Huda tetap menjadikan pesantren salaf sebagai tolok ukur pengajaran dan pendidikan dalam melakukan penilaian tingkat keberhasilan. Pesantren Nurul Huda, tidak memaksakan para santri untuk memahami materi pengajaran secara mendetail.

Materi-materi pengajaran ini, lebih digunakan sebagai instrumen mengasah diri untuk memiliki dzauq (perasaan) ilahiyah. Karena hanya dengan dzauq ilahiyah inilah, para santri diharapkan memiliki rasa khauf pada Allah, sebagai pondasi dasar membangun mental dan moral yang Islami. Semangat ini didasari oleh Hadits Nabi yang menyatakan:
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُوهَا

Disamping itu pula, Pesantren Nurul Huda membiasakan adanya interaksi batin antara asatidzah dengan para santri, dengan selalu tidak henti-hentinya menganjurkan untuk saling mendoakan diantara kedua belah pihak. Setiap mengawali dan mengakhiri pelajaran dilakukan pembacaan doa bersama.

Materi Pelajaran : Kelas 6

Kelas 6

Materi pelajaran:

    Jauharul Maknun II
        Mampu memahami substansi bahasan dlm kitab.
        Hafal nadzam-nadzam penting.
        Memahami dasar ilmu balaqhah (bayan & badi')

    Zubdatul Itqon
        Mampu memahami ulum al quran.
        Mampu mempraktekkan ilm nahwu dalam memahami substansi bahasan.

    Idzoh al Qowaid al Fiqhiyah
        Mampu memahami qaidah fiqh dengan baik.
        Mampu mempraktekkan ilm nahwu dalam memahami substansi bahasan.
        Mampu mengaplikasikan qaidah fiqh yang telah dipelajari pada masalah fiqh.
        Hafal Qaidah Fiqh dengan baik.

    Dlowabid Maqasid as Syar'iyah
        Mampu memahami substansi bahasan dengan baik.
        Memahami batasan maslahah dalam syariat Islam.
    Pembahasan Fiqih Maslahah dan Pengembangannya

Materi Pelajaran : Kelas 5

Kelas 5

Materi pelajaran:

    Waraqat
        Mampu memahami nash kitab dengan baik.
        Memahami dasar-dasar ushul fiqh dengan baik

    Alfiah II (bait 496-habis)
        Mengembangkan pengetahuan santri tentang ilmu nahwu.
        Hafal nadzam-nadzam penting.
    Jauharul Maknun
        Mampu memahami substansi bahasan dlm kitab.
        Hafal nadzam-nadzam penting
        Memahami dasar-dasar ilmu balaghah (Maani dan Bayan)

    Kifayatul Akhyar
        Mampu memahami substansi bahasan dalam kitab.
        Mampu memahami hubungan antara dalil dengan madlul terkait dengan dasar ilm usul fiqh yang
dipelajari.
        Mampu mempraktekkan ilm nahwu dalam membaca kitab.

    Taqrirotus Saniyah
        Mampu memahami substansi bahasan dlm kitab.
        Memahami ilm hadits dg baik.
        Hafal seluruh nadzam Baiquniyyah.

Materi Pelajaran : Kelas 4

Kelas 4

Materi Pelajaran:

    Kifayah al Ashab
        Memahami ilmu I'rob dalam Tarkib al Jumlah dengan baik
        Memahami tata bahasa sulit dalam kitab
        Mampu memahami dan mengidentifikasi makna-makna huruf.
    Bahjas as Saniyyah
        Memahami ilmu Tauhid dengan dalil aqli dan naqli
        Mampu mempraktekkan ilmu nahwu dalam membaca kitab
        Hafal nadzam-nadzam penting.
    Fathul al Qorib II (Bab al iqror sampai habis)
        Memahami fiqh muamalah dengan baik
        Mampu mempraktekkan ilmu nahwu dalam membaca kitab.
    Alfiyah I (sampai Af'al at Tafdil bait 496)
        Mengembangkan pengetahuan santri dalam ilmu nahwu
        hafal nadzam-nadzam penting

Materi Pelajaran : Kelas 3

Kelas 3

Materi Pelajaran:

    Al Qowaid as Shorfiyah 2
        Memahami kaidah-kaidah sharaf dan mampu mempraktekkannya
        Mampu mempraktekkannya untuk nash-nash yang mudah khususnya untuk wazan jama' taksir
        Hafal wazan jama' taksir.

    Tuhfah ats Tssaniyyah
        Memahami dengan baik ilmu nahwu serta mampu menerapkannya dalam teks dan mengidentifikasinya.

    Fathul al Qorib 1 (sampai bab al Iqror)
        Memahami fiqh ibadah secara baik
        Mampu membaca kitab kosongan / makna dengan baik

    Al Minah al Fikriyah
        Memahami ilmu tajwid dengan baik
        Mampu mempraktekkan dalam membaca al-Qur'an

Materi Pelajaran : Kelas 2

Kelas 2

Materi Pelajaran:

    Sulam at Taufiq
        Mampu membaca, memahami dan mempraktekkan subtansi bahasan kitab
        Santri mulai terbiasa dengan membaca kitab kosongan
        Tergerak untuk berusaha mampu mengenal asal-muasal dan kedudukan setiap lafadz.

    Muhktashor Jiddan
        Memahami struktur kalimat dalam tata bahasa arab
        Mampu menyelesaikan soal-soal ilmu nahwu dasar
        Mampu mempraktekkan dasar nahwu dengan pembiasaan membaca kitab kosongan.

    Jalau al Afaham
        Memahami ilmu Tauhid beserta dalil-dalilnya secara naqli maupun aqli
        Hafal nadzam 'Aqidah al 'Awam
        Pembiasaan membaca kitab kosongan.

    Al Qowaid as Shorfiyah 1
        Memahami kaidah-kaidah sharaf dan mampu mempraktekkannya
        Hafal Auzan al Mashodir (wali al mashodiri auza nu�)
        Mampu memberikan contoh yang lain (meng-qiyaskan)

Materi Pelajaran : Kelas 1

Kelas 1

Materi Pelajaran:

    Amtsilah Tasrif
        Hafal dg lancar Tasrif Lughawi dan istilahi
        Mampu memahami bentuk (shighat) dan fungsi masing-masing kalimat dalam tasrif.
        Memahami faedah-faedah Auzan Tasrif.

    Safinah an Naja/risalah mahid
        Memahami substansi bahasan/fiqh dasar berikut mampu mempraktekkan.
        Mampu (minimal) mampu memberikan makna dalam kitab (praktek menulis pego)
        Pengenalan membaca kosongan sekaligus tatbiq nahwu dan sharaf.

    Jurumiyah
        Mengenal istilah-istilah nahwu serta bisa membedakan macam-macam kalimat dan memberi makna
        Mampu menullis arab dg baik melalui keharusan menulis kembali nash kitab Jurumiyah
        Mampu mempraktekkan dasar nahwu untuk nash-nash arab yang mudah
        hafal seluruh nash kitab Jurumiyah.

    Taisir al Kholaq/Tijan ad Durori
        Memahami dan mampu mempraktekkan akhlaq dan Tauhid dasar
        Pengenalan membaca kosongan sekaligus tatbiq Nahwu dan Sharaf.

Madrasah Raudlatul Ulum

Madrasah merupakan sebuah kata dalam bahasa Arab yang artinya sekolah. Asal katanya yaitu darasa (baca: darosa) yang artinya mengajar. Di Indonesia, madrasah dikhususkan sebagai sekolah (umum) yang kurikulumnya terdapat pelajaran-pelajaran tentang keislaman. Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Madrasah pertama
Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam adalah rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam[1], tempat ilmu pengetahuan dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, Muhammad Rasulallah. Ia sendiri yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana, para As-Sabiqun al-Awwalun adalah merupakan murid-muridnya.

Site Search